
Kawasan eks lokalisasi Dolly kembali menjadi sorotan setelah Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya (Polrestabes Surabaya) menggerebek dugaan praktik prostitusi di Jalan Putat Jaya Timur III B, area yang dulunya dikenal sebagai salah satu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Dalam penggerebekan yang dilakukan pada Sabtu dini hari, 15 November 2025, aparat kepolisian mengamankan empat orang, termasuk seorang pekerja seks komersial (PSK) yang masih di bawah umur.
Sat Samapta Polrestabes Surabaya, di bawah pimpinan Kasat AKBP Erika Purwana Putra, menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan aktivitas prostitusi terselubung. Dari operasi tersebut, polisi menangkap dua muncikari berinisial H dan D, serta dua PSK berinisial LA dan DFA. Yang paling mengkhawatirkan, salah satu PSK yang diamankan, berinisial DF, dipastikan masih berusia di bawah umur.
Menurut AKBP Erika Purwana Putra, para pelaku disangkakan melanggar Pasal 46 dan/atau Pasal 37 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Sementara itu, PSK di bawah umur yang menjadi korban telah diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Surabaya untuk mendapatkan asesmen, rehabilitasi, dan perlindungan sosial. Dua muncikari yang ditangkap dikenakan tindak pidana ringan (tipiring).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menanggapi insiden ini dengan menegaskan komitmen pemerintah kota untuk terus memperketat patroli gabungan bersama Polrestabes Surabaya. Ia menyatakan bahwa praktik prostitusi kali ini ditemukan di rumah kos atau penginapan di sekitar kawasan eks Dolly, bukan di area inti Dolly yang diklaimnya "clear, aman". Wali Kota Eri juga menekankan pentingnya sanksi tegas bagi mereka yang terbukti terlibat dalam praktik prostitusi.
Penutupan lokalisasi Dolly secara resmi pada 18 Juni 2014, satu dekade lalu, merupakan upaya besar Pemerintah Kota Surabaya untuk mengubah citra kawasan tersebut dari pusat prostitusi menjadi area produktif. Sejak saat itu, berbagai program revitalisasi telah digalakkan, termasuk pengalihan fungsi wisma-wisma menjadi sentra Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta pengembangan kampung eduwisata. Namun, insiden terbaru ini kembali menyoroti tantangan berkelanjutan dalam memberantas praktik prostitusi terselubung.
Sosiolog Universitas Airlangga, Prof. Bagong Suyanto, mengungkapkan bahwa fenomena prostitusi memiliki akar yang dalam dan dapat terus berkembang meskipun lokalisasi resmi telah ditutup. Ia bahkan menyebutkan bahwa sekitar 30 persen industri seksual komersial melibatkan anak di bawah umur, yang sebagian besar menjadi korban penipuan atau pemerasan. Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas, menambahkan bahwa kasus ini menjadi pengingat pentingnya edukasi berkelanjutan dan kehadiran pemerintah di tengah masyarakat untuk mencegah eksploitasi seksual anak.
Kejadian ini menjadi pengingat pahit bahwa perjuangan untuk mengubah citra dan memastikan lingkungan yang aman di eks lokalisasi Dolly masih jauh dari kata usai. Pemerintah dan masyarakat harus terus bersinergi untuk menutup celah bagi praktik-praktik terlarang, terutama yang melibatkan anak di bawah umur, agar visi Dolly sebagai kawasan yang bersih, sehat, dan ramah anak dapat terwujud sepenuhnya.