
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Indonesia berkomitmen kuat untuk mempercepat pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun mendatang, menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto. Target ambisius ini merupakan bagian integral dari strategi nasional dalam memerangi kejahatan lingkungan dan memperkuat tata kelola hutan berbasis masyarakat. Pengakuan hutan adat bukan sekadar bentuk penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, namun juga terbukti dapat mengurangi laju deforestasi sebesar 30 hingga 50 persen.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan komitmen ini pada forum United for Wildlife Global Summit di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa, 4 November 2025. Hal senada juga disampaikan oleh Penasihat Utama Menteri Kehutanan, Silverius Oscar Unggul, dalam berbagai forum internasional, termasuk pada pertemuan di atas kapal Rainbow Warrior yang diselenggarakan Greenpeace di Brasil pada 15 November 2025, serta pada Leader Summit di Belém pada 6 November 2025, dan di forum COP30 UNFCCC. Dalam kesempatan tersebut, Silverius menggarisbawahi bahwa hutan adat sangat penting bagi integritas ekosistem dan merupakan ruang hidup bagi komunitas adat yang telah menjaga hutan selama beberapa generasi.
Untuk mempercepat proses ini, Kemenhut telah membentuk Satuan Tugas Khusus Percepatan Pengakuan Hutan Adat sejak Maret 2025. Gugus tugas ini bersifat inklusif, melibatkan unsur lembaga nirlaba, akademisi, perwakilan masyarakat adat, dan pemerintah, dengan komposisi yang memperhatikan keseimbangan gender dan representasi dari seluruh wilayah Indonesia. Satuan tugas ini bertugas memastikan percepatan perizinan berjalan cepat, adil, dan transparan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga tengah menyusun Peta Jalan (Roadmap) Percepatan Pengakuan Hutan Adat yang dijadwalkan akan diluncurkan pada Desember 2025.
Hingga Oktober 2025, sebanyak 164 surat keputusan hutan adat telah diterbitkan, mencakup 345.257 hektare yang dikelola oleh 87.963 kepala keluarga. Data lain juga menyebutkan hampir 400 ribu hektare atau tepatnya 333.687 hektare hutan adat telah ditetapkan dari tahun 2016 hingga Juli 2025, diberikan kepada 83 ribu kepala keluarga masyarakat hukum adat di 41 kabupaten dan 19 provinsi. Meskipun demikian, masih terdapat tantangan signifikan. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat bahwa hingga Agustus 2024, dari 30,1 juta hektare wilayah adat yang teregistrasi, pengakuan resmi oleh pemerintah daerah masih minim, hanya sekitar 4,85 juta hektare. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengidentifikasi potensi hutan adat sebesar 23,2 juta hektare, namun baru 265.250 hektare yang ditetapkan hingga Agustus 2024.
Beberapa kendala yang dihadapi termasuk masalah legalitas dan verifikasi lahan, di mana banyak wilayah adat belum memiliki batas yang jelas pada peta administrasi negara, serta konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan yang konsesinya tumpang tindih dengan wilayah adat. Keterbatasan kapasitas lembaga adat dalam menyusun dokumentasi dan peta teknis juga menjadi penghambat. Selain pengakuan hukum, pemerintah juga berencana memperkuat ekonomi masyarakat adat pasca-penetapan hutan adat dengan menyiapkan dua model pendanaan: hibah untuk penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas, serta pembiayaan perbankan berbunga rendah dengan masa tenggang lebih panjang. Pemerintah juga memperkuat akses pasar bagi produk komunitas adat melalui nota kesepahaman antara Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Ketua Umum KADIN Indonesia Anindya Bakrie.
Masyarakat adat, sebagai penjaga benteng iklim dunia, diharapkan akan semakin berperan aktif dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, yang juga memiliki potensi untuk mendukung pariwisata berbasis komunitas dan pelestarian budaya. Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyuarakan keraguan terkait komitmen pemerintah karena belum adanya Undang-Undang Masyarakat Adat (UUMA) dan adanya tumpang tindih wilayah adat dengan proyek-proyek besar seperti food estate dan industri ekstraktif yang mengancam wilayah ulayat.