
Jepang mencatatkan lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara yang belum pernah terjadi sebelumnya, memecahkan rekor pada tahun 2024 dan diperkirakan akan melampauinya lagi pada tahun 2025. Pada tahun 2024, Negeri Sakura menyambut 36,8 juta turis asing, melampaui rekor sebelumnya 32 juta pada tahun 2019. Tren ini terus berlanjut, dengan 31,65 juta wisatawan tercatat dari Januari hingga September 2025, menandai laju tercepat untuk melampaui angka 30 juta dalam setahun. Bahkan, pada Juli 2025 saja, jumlah kunjungan turis menembus 3,4 juta orang, menjadi rekor baru untuk bulan tersebut.
Peningkatan dramatis ini sebagian besar didorong oleh melemahnya nilai tukar yen, yang menjadikan Jepang destinasi yang lebih terjangkau bagi pelancong internasional. Selain itu, pelonggaran pembatasan perjalanan pascapandemi, daya tarik budaya pop Jepang seperti anime dan kuliner, serta peningkatan konektivitas juga berkontribusi pada antusiasme wisatawan.
Namun, lonjakan wisatawan ini tidak datang tanpa tantangan. Fenomena "overtourism" atau pariwisata berlebihan telah menjadi perhatian serius di destinasi populer seperti Kyoto, Gunung Fuji, dan Tokyo. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemacetan, kerusakan lingkungan, dan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari penduduk lokal. Sebagai respons, pemerintah Jepang telah mengambil sejumlah langkah, termasuk membentuk badan khusus untuk mengatasi dampak overtourism. Kebijakan yang diterapkan meliputi kenaikan pajak akomodasi di Kyoto, pembatasan jumlah pendaki di Gunung Fuji, dan pertimbangan untuk menaikkan pajak keberangkatan internasional dari 1.000 yen menjadi 3.000 yen per orang mulai tahun fiskal 2026.
Di tengah euforia pariwisata ini, muncul ketegangan diplomatik yang berdampak pada salah satu pasar pariwisata terbesar Jepang, yaitu Tiongkok. Meskipun wisatawan Tiongkok merupakan penyumbang jumlah turis terbesar kedua pada tahun 2024 dengan 6,98 juta kunjungan, dan sekitar 24 persen dari seluruh wisatawan pada September 2025, hubungan bilateral memanas menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada 7 November 2025. Takaichi menyatakan bahwa penggunaan kekuatan militer oleh Tiongkok terhadap Taiwan dapat dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi Jepang.
Tiongkok bereaksi keras terhadap pernyataan ini, menganggapnya sebagai campur tangan dalam urusan dalam negerinya. Beijing kemudian mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya yang ingin mengunjungi Jepang, dengan alasan "peningkatan risiko keselamatan" dan "lonjakan kejahatan terhadap warga negara Tiongkok". Maskapai penerbangan Tiongkok juga menanggapi dengan menawarkan pengembalian dana penuh untuk penerbangan ke Jepang, menandakan penurunan signifikan dalam arus perjalanan dari Tiongkok.
Meskipun dampak terhadap sektor pariwisata Jepang sangat terasa, dengan banyak pembatalan dari wisatawan Tiongkok, pejabat Jepang memilih untuk tidak memberikan komentar spesifik atau pernyataan yang menenangkan secara langsung kepada para wisatawan Tiongkok mengenai situasi tersebut. Pemerintah Jepang tetap pada pendirian politiknya terkait pernyataan Takaichi, sambil mendorong dialog untuk meredakan situasi diplomatik yang tegang. Ketidakadaan komentar langsung ini, di tengah ketegasan posisi diplomatik, berkontribusi pada persepsi "tanpa komentar" dari pejabat Jepang terhadap masalah spesifik yang dihadapi wisatawan Tiongkok.