
Labuan Bajo, destinasi pariwisata super prioritas di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, kini menghadapi ancaman serius berupa pencemaran limbah akibat aktivitas docking kapal wisata. Kondisi ini mencoreng citra keindahan alam bahari yang menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.
Operasi penertiban yang dilakukan oleh Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah IV (Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat) bersama organisasi perangkat daerah terkait pada pertengahan November 2025 menemukan sejumlah kapal wisata melakukan kegiatan docking ilegal di perairan. Aktivitas perbaikan kapal di lokasi yang tidak semestinya ini telah mencemari perairan dan menyebabkan kerusakan terumbu karang. Kepala Cabang DKP Provinsi NTT Wilayah IV di Labuan Bajo, Robertus Eddy Surya, menyebut kerusakan karang diduga akibat keberadaan kapal serta limbah cat dan material lain yang jatuh ke laut selama kegiatan docking. Salah satu lokasi docking ilegal yang ditemukan adalah perairan Pantai Binongko, di mana tim mendapati tujuh kapal pinisi beraktivitas.
Tak hanya limbah docking, masalah pencemaran di Labuan Bajo juga meluas. Perairan Pantai Pede, salah satu pantai favorit yang dapat diakses publik secara gratis, dilaporkan tercemar oli yang diduga kuat berasal dari kapal-kapal yang parkir dan melakukan perawatan mesin. Kondisi ini membuat wisatawan tidak bisa berenang dan menyebabkan pantai menjadi bising, kotor, serta kumuh.
Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, pada Agustus 2024 lalu telah menyuarakan kekhawatirannya tentang perairan Labuan Bajo yang terancam dipenuhi limbah tinja dalam beberapa tahun ke depan jika pengelolaan limbah dari aktivitas kapal wisata tidak diperbaiki. Sebagian besar kapal wisata disebut tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang memadai untuk limbah manusia. Sekretaris Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif, dan Kebudayaan Manggarai Barat, Chrispin Mesima, mengakui bahwa aktivitas kapal wisata dan live on board menyumbang sekitar 80 persen dampak lingkungan di laut.
Lebih dari 400 kapal wisata beroperasi setiap hari di perairan Labuan Bajo. Banyak di antaranya, termasuk kapal feri, diketahui membuang sampah ke laut sebelum mencapai pelabuhan untuk menghindari biaya pembuangan sampah di daratan. Minimnya kesadaran pelaku wisata, kru, dan nakhoda kapal menjadi salah satu faktor penyebab pembuangan sampah sembarangan. Bahkan, perairan Labuan Bajo tercatat dicemari lebih dari 20 ribu plastik es setiap harinya, di luar dugaan kontribusi sampah pancing atau jaring.
Dampak dari pencemaran ini sangat merugikan ekosistem laut, terutama terumbu karang yang vital. Selain limbah docking, jangkar kapal yang lego sembarangan juga menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di titik penyelaman seperti Sebayur Kecil. Mikroplastik yang terus meningkat di perairan juga mengancam biota laut dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang bagi manusia yang mengonsumsi hasil laut dari perairan tercemar.
Berbagai pihak telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Kantor Cabang DKP Provinsi NTT Wilayah IV telah memberikan surat peringatan tertulis kepada pemilik kapal yang melakukan docking ilegal, menuntut penghentian aktivitas, pemulihan fungsi ruang dan lingkungan perairan, serta pengajuan izin lokasi docking yang sesuai. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Labuan Bajo juga telah mengeluarkan surat edaran dan mengancam sanksi, termasuk tidak memberikan surat persetujuan berlayar (SPB), bagi kapal yang membuang sampah sembarangan. KSOP juga rutin melakukan pemeriksaan dan pengawasan kegiatan bunker (pengisian bahan bakar) untuk mencegah tumpahan minyak di pelabuhan.
Pemerintah pusat melalui Kemenko Marves, dengan Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Rofi Alhanif, menyoroti bahwa masalah pengelolaan sampah di Labuan Bajo masih menjadi tantangan, baik dari segi infrastruktur maupun kesadaran masyarakat. Karenanya, program kolaborasi seperti B+ (Bajo Positif) untuk pilah sampah inovatif digalakkan. Selain itu, pemerintah daerah sedang menyusun rencana jangka panjang yang mencakup pembatasan aktivitas kapal dan penguatan daya dukung kawasan. WWF-Indonesia juga telah lama mendorong program "Signing Blue" untuk praktik wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan, termasuk pengelolaan sampah di kapal. Namun, masalah sampah di Labuan Bajo telah menjadi sorotan dan keluhan masyarakat sejak lama, dengan lambannya penanganan sampah di darat yang turut memperparah kondisi laut saat terbawa air hujan.